Artikel

50 Perguruan Tinggi Indonesia Paling Produktif dalam Riset

Berdasarkan data Dikti per 21 Februari 2017, terdapat 4.490 perguruan tinggi di Indonesia, yang terdiri atas 1.104 akademi, 251 politeknik, 2.434 sekolah tinggi, 143 institut, dan 558 universitas. Para perguruan tinggi ini tentunya menghasilkan banyak lulusan setiap tahunnya. Lalu bagaimana kinerja mereka dalam pengembangan ilmu pengetahuan alias riset? Data di bawah ini menampilkan 50 perguruan tinggi Indonesia yang paling produktif dalam riset menurut database Scopus, dan Anda bisa mengira-ngira sendiri sisanya seperti apa. Sila tengok:

50-perguruan-tinggi-indonesia-di-scopus-21-februari-2017

HG, 21-02-2017

Sains45: Agenda Menyongsong Satu Abad Indonesia

SAINS45cover

Pada bulan Agustus tahun 2015, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) menerbitkan sebuah buku penting berjudul “Sains45: Agenda Ilmu Pengetahuan Indonesia Menyongsong Satu Abad Indonesia“. Buku ini ditulis oleh tim yang terdiri dari 17 ilmuwan Indonesia, berisi 8 bab, dengan total 45 tulisan. Hmmm, 17-8-45 ya.. Bila anda penasaran dengan isinya, buku Sains45 dapat diunduh dari situs AIPI.

H.G., 09-10-2015

Cerita dari Festival Anak Bertanya 2015

Oleh: Avivah Yamani*

Mengasah Kepekaan, Mencari Jawaban. Itulah tagline dari Festival Anak Bertanya yang diadakan di Sasana Budaya Ganesa ITB, tanggal 16 Juni 2015. Acara yang diselenggarakan oleh anakbertanya dan SABUGA ITB tersebut dimulai dari ide sederhana bahwa anak punya segudang pertanyaan yang butuh jawaban. Sayangnya, seringkali orangtua maupun guru tidak selalu memiliki jawaban tersebut. Ide yang dimulai dari pengadaan sebuah situs anakbertanya.com untuk menyediakan jawaban dari pertanyaan anak dengan melibatkan para pakar yang bekerja di bidangnya kemudian berkembang menjadi sebuah interaksi yang cukup rutin diadakan oleh anakbertanya bersama mitra kerjanya. Pada akhirnya ide tersebut berkembang dengan sebuah interaksi yang melibatkan lebih banyak lagi komunitas dan lembaga yang memang sering berinteraksi dengan anak.

Festival Anak Bertanya yang berlangsung meriah semenjak pagi hari tersebut disponsori oleh Prudential Indonesia dan diikuti oleh 28 komunitas, lembaga, institutsi yang berkecimpung dalam dunia anak.

Di FAB2015, para peserta yang kesehariannya dekat dengan anak tersebut berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang berasal dari dunia sains, pendidikan, seni, pengayaan, maupun hak asuh anak. Kalau disingkat, bisa kita katakan, FAB2015 membawa anak bertualang dan belajar dari Bumi sampai ke Alam Semesta. Bagaimana tidak, para pengunjung yang sebagian besar adalah anak-anak tersebut diajak untuk mengenal sains dari dekat. Sains yang mungkin sering diasosiasikan sebagai momok yang menakutkan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Tak hanya itu, pengenalan sains dan budaya pun bisa diaplikasikan dalam permainan. Menyenangkan bukan? Matematika atau pelajaran sejarah yang kerap membosankan ternyata bisa menjadi super menyenangkan! Anak bisa mengenal tokoh sejarah dan berbagai kejadian yang terjadi di masa kemerdekaan Indonesia. Bahkan anak pun bisa mengenal budaya Indonesia lewat dongeng, dan belajar bercerita kepada teman-temannya.

Dan jangan salah. Anak-anak tidak sekedar diajak bermain, mereka pun bisa mengeksplorasi kemampuan untuk mebuat sendiri permainan mereka. Bahkan tak hanya permainan. Anak juga bisa belajar untuk membuat aplikasi yang dia inginkan atau juga robot. Tentunya semua anak pernah bermimpi dan bercita-cita untuk membuat sesuatu kan?

Dalam acara FAB2015 yang dilaksanakan selama sehari dan didukung juga oleh PT Pos Indonesia, PT LAPI ITB, ITB82, JG Motor dan PT Jaya Makmur Tangkas, anak yang hadir juga diajak untuk mengenal dan menjaga lingkungan. Ini penting untuk menanamkan prinsip pentingnya lingkungan dan bagaimana menjaganya semenjak dini. Penyajian film Petualangan Banyu menjadi salah satu cara untuk membangun kesadaran anak akan lingkungan.

Kreatifitas dan keberanian anak juga bisa dilatih lewat olah gerak seperti sepatu roda yang disajikan dengan sangat apik sementara para orang tua muda yang memimpikan generasi yang handal di masa depan juga ikut serta mengajak para orang tua dan anak untuk mengenal lebih jauh bagaimana pola pengasuhan anak yang baik. Dari sisi hak asuh anak, ada beberapa lembaga yang ikut serta yang juga menyajikan pengenalan tentang anak berkebutuhan khusus maupun lembaga mitra anakbertanya yang berkecimpung dalam penyediaan rumah bagi anak. Anak juga diberi informasi tentang bagaimana menabung dan mengelola keuangan oleh Prudential Indonesia.

Itu di Bumi! FAB2015 juga mengajak anak bertualang mengenal antariksa dan menjaga Bumi dari polusi cahaya. Pengenalan antariksa dari beberapa komunitas dan lembaga yang ikut terasa semakin nyata dalam sebuah petualangan antariksa ketika anak bisa menikmati itu dalam tayangan Planetarium Mini yang dibawa khusus oleh LAPAN.

Festival Anak Bertanya ini dikemas dalam bentuk semi pameran dimana para peserta memiliki booth tersendiri dan setiap anak bisa datang langsung berinteraksi atau bertanya pada para ahlinya, maupun pengenalan komunitas dan lembaga lewat presentasi interaktif di panggung. Di sini, para peserta harus dapat bercerita semenarik mungkin tentang siapa dirinya. Presentasi menjadi tidak membosankan, karena selain setiap peserta kreatif bercerita, acara juga diselingi oleh berbagai penampilan seperti tarian, musik daerah, maupun belajar menyanyi lagu-lagu yang memang khusus dibuat untuk anak.

Tapi, tak ada acara yang berakhir. Di penghujung hari, Festival Anak Bertanya 2015 pun ditutup dengan harapan setiap pengunjung cilik yang hadir bisa memperoleh jawaban dari pertanyaannya dan mengasah kreatifitas dan kemauan untuk mewujudkan mimpi mereka di masa depan. Dan yang pasti FAB2015 tidak akan berhenti sampai di sini. Sampai jumpa di FAB 2016.

*Avivah Yamani adalah salah seorang pendiri langitselatan.com.

Bandung, 19-06-15

Sastra dan Matematika

Oleh: A. Elwiq PR*

Kabar dari situs http://www.simonsfoundation.org merilis perkembangan mutahir dunia matematika. Maryam Mirzakhani (37 tahun), wanita asal Iran, meraih penghargaan bergengsi the Fields Medal. Penghargaan ini disebut-sebut sebagai Nobel-nya para matematikawan, yang awalnya diadakan oleh matematikawan asal Kanada, John Charles Fields, yang merancang medali dan mendanai penyelenggaraannya. Pada 2014 Mirzakhani terpilih sebagai wanita pertama penerima penghargaan yang sudah diberikan tiap empat tahun sekali sejak 1936. Selain penampilan sederhananya yang mengundang simpati, dalam wawancara dengan media ia justru berbicara tentang cita-citanya ketika kecil menjadi seorang penulis, bukan ilmuwan sebagaimana ia sekarang.

Profesor Mirzakhani dari Universitas Stanford, Amerika Serikat, berbicara teori yang ia temukan dan rumuskan di jagat matematika dengan mengimajinasikan angka-angka pada cabang ilmu topologi, geometri, dan sistem-sistem dinamika, serupa cerita. Pengakuannya, “penelitian dalam matematika itu seperti menulis sebuah novel. Ada karakter yang berlainan satu sama lain, anda akan mengenalnya lebih baik kemudian. Segala sesuatunya saling mempengaruhi, selanjutnya anda kembali melihat karakter yang anda kenali di awal. Ada yang benar-benar berbeda dari kesan pertama yang kita tangkap.”

Ia lahir di Teheran, Iran. Sejak mula ia lebih tertarik membaca dan menulis fiksi ketimbang mengerjakan tugas matematika. Dalam pikirannya, ia hanya ingin membaca semua buku yang ia jumpai. Ia juga menonton televisi yang menayangkan film dokumenter perempuan terkemuka semisal Marie Curie dan Helen Keller. Ia terkesan dengan novel biografi Vincent van Gogh karya Irving Stone yang berjudul Lust For Life.

Apa istimewanya novel tersebut hingga Mirzakhani menyebutnya secara khusus? Banyak bagian dari novel tersebut memang memberikan ruang-ruang bernafas bagi para pemburu hakikat. Salah satunya percakapan Vincent dengan ayahnya sebagai berikut:

Suatu kali, ayahnya, yang mengira dia membaca untuk hiburan, berkata, “Vincent, kau selalu berbicara tentang betapa kerasnya kau harus bekerja. Lalu mengapa kau membuang-buang waktumu dengan semua buku Perancis yang konyol itu?”

Vincent meletakkan jarinya untuk menandai halaman novel yang sedang dibacanya, Le Pere Goriot karya Balzac, dan mendongak.

“Aku tidak bisa menggambar figur,” katanya, “tanpa mengetahui semua tentang tulang-tulang, otot-otot, dan urat-urat yang ada di dalamnya. Dan aku tak bisa menggambar kepala tanpa tahu apa yang terjadi di dalam otak dan jiwa orang itu. Untuk melukiskan kehidupan orang harus memahami tidak hanya anatomi, tetapi juga apa yang dirasakan dan dipikirkannya tentang dunia TEMPAT MEREKA TINGGAL. Seorang pelukis yang hanya paham akan ketrampilan tangannya sendiri dan bukan yang lain nantinya akan menjadi pelukis yang SANGAT DANGKAL.” (hal 148-149, Lust For Life, Irving Stone, 1934).

Dalam percakapan itu, kita tidak hanya mendapati kehidupan pelukis dalam arti sempit, tapi bagaimana proses seorang manusia memahami hidup dan ia padukan dengan pengetahuan, itulah yang tampaknya berpengaruh kuat pada kehidupan Mirzakhani kemudian hari.

“Dia punya lembaran-lembaran kertas besar dan digelar di lantai. Dia betah berjam-jam menggambar di atasnya. Bagi saya seperti membuat coretan-coretan yang terus diulang-ulang,” ujar Jan Vondrak, suaminya.

“Coretan-coretan itu membuat saya fokus,” sahut Mirzakhani.

Ketika memikirkan permasalahan matematika yang rumit ia tak mungkin menulis semuanya secara rinci, dengan menggambarnya akan sangat membantu entah bagaimana caranya tetap terhubung.

Rupanya, logika dan dialektika yang disampaikan Tan Malaka, berseru kuat dalam cara berpikir Mirzakhani. Tan Malaka menyebutnya sebagai jembatan keledai. Bahwa menurut Tan Malaka, bahkan lulusan SMP pun bisa belajar sendiri untuk sampai ke langit matematika selama cukup sabar dan mempunyai tempo atau irama. Bahwa ada warisan yang patut digarisbawahi dari pemikiran Tan Malaka, yakni untuk memahami logika dan dialektika, kita lebih dulu melatih dan mendidik diri sendiri dalam kerangka pikir geometris.

Ya, sejauh ini dunia sastra pun digelar oleh penulis yang mampu melahirkan karya adi di mana ia bisa memadukan dialog yang hidup antar tokoh, sekaligus bagaimana alur cerita dibuatkan rumusan logis yang hanya penulisnya sendiri yang mampu menguraikan. Kemudian pembaca dibuat menebak-nebak bagaimana bisa sampai di akhir cerita. Begitu pun yang Vincent van Gogh lakukan seumur hidup. Ia berkutat dengan ribuan eksperimen yang baginya bukan sedang menghasilkan karya tapi terus-menerus memperkuat ekspresinya dalam karya.

Artinya, bila diterapkan hari-hari ini sebagaimana yang digerakkan bapak dan ibu guru dengan Kurikulum 2013, jelas memberikan ruang luas bagi anak didik maupun pendidik untuk bereksperimen menemukan coretan-coretan yang bukan hanya indah dipandang tapi membongkar pola pikir, tak lagi mengotak-ngotakkan cabang-cabang ilmu secara kaku. Kuncinya satu, banyak-banyak membaca agar imajinasi peserta didik dan pendidik terus tumbuh, kuat, dan kokoh. Itukah yang terjadi di sekolah-sekolah belakangan ini?

*A. Elwiq PR adalah seorang penulis cerpen yang tinggal di Malang, Jawa Timur.

Bandung, 15-10-2014

Membangun Perekonomian Berbasis Iptek*

Di tengah hiruk-pikuk Pilpres 2014 ketika itu, ada berita menggembirakan tentang perekonomian Indonesia yang berhasil masuk sepuluh besar dunia (Kompas, 3 Mei 2014). Saat itu, Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan menyatakan bahwa Indonesia kini sejajar dengan negara-negara lain yang tergolong maju (Kompas.com, 5 Mei 2014). Negara-negara yang dimaksud adalah Amerika Serikat, Tiongkok, India, Jepang, Jerman, Rusia, Brasil, Perancis, dan Inggris.

Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini memang mencapai angka yang fantastis, yaitu sekitar Rp 10.000 triliun. Namun, bila kita bagi dengan jumlah penduduk Indonesia, maka kita dapatkan PDB per kapita sekitar Rp 45 juta. Dengan angka ini, Indonesia berada di urutan ke-125, jauh berada di bawah Malaysia, Suriname, bahkan Namibia.

Ada dua hal yang penting untuk dicatat terkait dengan isu ini. Pertama, tanah air Indonesia memang kaya dengan sumberdaya alam, dan dari situlah PDB yang besar kita raup. Namun, jumlah penduduk kita juga besar, sehingga PDB yang besar tadi belum memberikan kesejahteraan bagi masyarakat secara umum. Kedua, untuk mendongkrak PDB per kapita, kita tidak dapat seterusnya mengandalkan kekayaan sumberdaya alam Indonesia. Suatu terobosan perlu digagas untuk perekonomian Indonesia ke depan.

Bila selama ini kita terpaku pada peran Pemerintah dan para pelaku usaha dalam meningkatkan perekonomian Indonesia, maka salah satu terobosan yang perlu dilakukan adalah memperkuat elemen ketiga, yaitu perguruan tinggi (PT) dan lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan (litbang).

Negara-negara maju seperti Inggris dan Jepang membangun perekonomiannya tidak di atas sumberdaya alam tetapi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang mereka kembangkan. Di sinilah PT dan lembaga litbang memainkan peran pentingnya. Dalam hal ini pula kita menyadari mengapa PDB per kapita masih rendah, yaitu karena perekonomian kita belum diwarnai dengan kemajuan iptek yang kita kembangkan sendiri.

Pilpres 2014 telah berlalu. Apakah kita kemudian dapat berharap pada Pemerintah baru, yang akan dipimpin oleh duo Jokowi-JK kelak?

*Dicuplik dari artikel Membangun Perekonomian Berbasis Iptek yang dimuat di Kompas, 3 September 2014.

HG, 02-10-2014

Aku Suka Sejarah. Aku Bisa Jadi Apa? **

Oleh: Andi Achdian*

Kamu menyukai pelajaran sejarah? WOW! Apakah kamu juga menyukai kisah-kisah tempo dulu anggota keluargamu? Tentang Ayah dan Ibumu? Tentang Kakek dan Nenek, dan siapa saja yang lahir terlebih dahulu sehingga kamu ada di dunia ini?

Kalau sekarang kamu bertanya tentang cita-cita apa yang cocok untuk kamu yang suka pelajaran sejarah, saya pun memiliki rasa penasaran yang sama. Sungguh! Akan menjadi apa kamu di masa depan nanti?

Pertanyaanmu mendorong saya untuk membuka-buka buku di perpustakaan, membaca kisah-kisah para penemu, petualang, dan juga pemimpin besar yang namanya ada dalam catatan sejarah. Eureka! Saya girang seperti Archimedes, tetapi tidak berlari telanjang. Kebanyakan di antara orang-orang besar itu, mereka adalah orang-orang yang menyukai sejarah seperti kamu juga.

Sebagai contoh, coba kamu lihat kisah hidup Sukarno, presiden pertama dan pendiri negara Republik Indonesia. Sejak usia kanak-kanak, ia menyukai segala sesuatu bersifat sejarah. Ia suka wayang. Ia suka kisah raja-raja Nusantara. Ia pun gemar dengan cerita-cerita para raja dan kaisar di benua Eropa, nun jauh dari tempat kelahirannya. Perhatikan juga pidato-pidatonya. Sukarno tidak pernah lupa mengutip kata-kata bijak dan perbuatan tokoh-tokoh besar dalam sejarah, atau juga peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu. Si pencinta sejarah ini pun menjadi mahasiswa teknik yang belajar arsitektur di Bandung. Bayangkan!

Akhirnya, izinkan saya mengatakan dua hal.

Pertama, kesukaanmu terhadap sejarah membuka mata hati paling dalammu menjadi seorang manusia. Ia adalah busur dan anak panah yang membantumu membidik cita-cita yang paling jauh dan paling tinggi yang bisa kamu bayangkan. Silakan membidik apa saja. Apakah kamu ingin menjadi ilmuwan, dokter, penyair, wartawan, guru atau dosen di perguruan tinggi. Apapun.

Kedua, kecintaanmu terhadap sejarah mungkin akan menjadikanmu sebagai sejarawan profesional. Kamu akan melakukan banyak hal yang menyenangkan. Mengumpulkan surat-surat tua untuk menguak cerita masa lalu yang hilang. Mungkin itu adalah surat cinta Ayah kepada Ibumu. Mungkin juga kamu menemukan dokumen-dokumen yang jarang orang mau menyentuhnya, tetapi ternyata ia membawamu pada satu rahasia tentang riwayat penting negerimu.

*Andi Achdian adalah seorang sejarawan. Saat ini ia sedang menempuh program doktor di FIB UI.

**Tulisan ini dimuat di anakbertanya.com sebagai jawaban terhadap pertanyaan seorang anak tentang cita-cita apa yang cocok baginya yang menyukai pelajaran Sejarah.

Bandung, 29-08-2014

Menerawang Masa Depan Indonesia

Pemilihan umum untuk anggota legislatif telah berlalu, pemilihan Presiden menanti. Seperti apa ya masa depan bangsa Indonesia 5 tahun ke depan? Apakah Pemerintah yang baru akan mengantarkan bangsa memasuki pintu gerbang yang dijanjikan dalam Pembukaan UUD RI 1945? Rasanya kita belum melalui pintu gerbang itu, ‘kan? Bahkan saat ini kita tidak melihat pintu gerbang itu ada di mana.

Berbicara tentang 5 tahun ke depan, kita memang perlu melihat apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah. Namun, bila kita berbicara tentang 10-20 tahun ke depan, siapa yang kita tengok? Menurut hemat saya, untuk bisa membayangkan nasib bangsa 10-20 tahun ke depan, tengoklah perguruan tinggi kita: apa yang dilakukan di sana, apa yang telah dihasilkan, dan apa yang sedang dikembangkan.

Lalu, bila kita ingin punya gambaran seperti apa negara kita 25-40 tahun yang akan datang, perhatikanlah anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Apakah yang sedang mereka lakukan? Syukurlah bila mereka memiliki semangat belajar yang tinggi, jangan redam keingintahuan mereka. Namun, apa yang mereka pelajari, perlu kita cermati. Masa depan bangsa ada di tangan mereka.

HG, 22-04-2014

Universitas sebagai Pusat Belajar

Budi Widianarko, Rektor Unika Soegijapranata, menulis tentang Universitas sebagai Rumah Belajar (Kompas, 1 Maret 2014 ). Beliau menekankan pentingnya pendidikan, yang merupakan dharma pertama dalam rumusan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Baiklah, kita terima itu. Pertanyaannya, pendidikan dengan kualitas seperti apa yang terselenggara di perguruan tinggi Indonesia?

Selanjutnya, kita juga perlu bertanya, apakah universitas hanya akan menjadi tempat mempelajari ilmu pengetahuan yang sudah dihasilkan orang lain? Tentunya tidak, ‘kan? Universitas harus menjadi tempat belajar bagaimana menghasilkan ilmu pengetahuan itu. Universitas semacam ini mestinya ditopang oleh dosen, fasilitas, dan interaksi dosen-mahasiswa yang berkualitas.

Di mana kah di negeri ini terdapat universitas yang merupakan Pusat Belajar seperti itu?

Berikut adalah 10 perguruan tinggi yang pantas disebut sebagai Pusat Belajar, yang telah menunjukkan bahwa dosen dan mahasiswanya tidak hanya belajar ilmu pengetahuan yang sudah dihasilkan orang lain, tetapi juga belajar bagaimana menghasilkan ilmu pengetahuan (dalam bentuk paper, bab dalam buku, dan lain-lain). Data dicuplik dari Scopus, tanggal 19-02-2014.

No

Perguruan Tinggi

Kota

Paper & Bab dlm Buku

Lainnya

Total

1.

Institut Teknologi Bandung

Bandung

1757

1602

3359

2.

Universitas Indonesia

Depok

1951

1004

2955

3.

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta

1295

404

1699

4.

Institut Pertanian Bogor

Bogor

1037

223

1260

5.

Institut Teknologi Sepuluh November

Surabaya

525

382

907

6.

Universitas Diponegoro

Semarang

456

160

616

7.

Universitas Airlangga

Surabaya

475

65

540

8.

Universitas Padjadjaran

Bandung

433

128

561

9.

Universitas Hasanuddin

Makassar

419

96

515

10.

Universitas Brawijaya

Malang

405

93

498

HG, 10-03-2014

Kreasi yang Tak Lazim**

Seruan untuk Generasi Muda Indonesia

Oleh: Zulkaida Akbar*

Black Mountain College, didirikan pada tahun 1933 di North Carolina USA menjadi satu titik penting dalam sejarah pendidikan di Amerika. Black Mountain College (BMC) didirikan dengan semangat perlawanan terhadap model pendidikan tradisional Amerika saat itu. BMC mendidik siswanya dengan semangat kebebasan, lintas disiplin, seni, tidak memisahkan antara bekerja dan bermain, serta hubungan egaliter antara guru dan siswa dimana guru dan siswa sama-sama bekerja dalam mengurus kampus (bangunan, administrasi, hingga makan siang).

Meski kini Black Mountain College tak lagi ada, namun jejaknya tertoreh cukup dalam pada sejarah perkembangan seni di Amerika. Puluhan seniman, penulis, pemikir dan penyair ternama dihasilkan oleh College yang bahkan tak pernah terakreditasi serta dijalankan dengan anggaran minim ini.

Black Mountain College adalah salah satu hasil “kreasi yang tak lazim”. Sepanjang sejarah peradaban manusia, berderet kreasi yang tak lazim dengan berbagai rupa: sistem, teknologi, kepemimpinan politik, artefak, hingga pemikiran. Umumnya, kreasi tak lazim ini lahir dari kejenuhan atau kebuntuan. Namun, ada pula yang dihasilkan oleh seorang jenius yang mampu meneropong masa depan. Beberapa dari kreasi yang tak lazim ini menjadi kontroversi sesaat dan lantas lenyap. Beberapa lainnya, mampu menjadi solusi atas persoalan di masyarakat, dan segelintir di antaranya bahkan mampu menghela arah peradaban.

Lantas, ada satu pertanyaan yang mengemuka di benak saya : ada berapa banyak kreasi yang tak lazim di Negeri Indonesia kita tercinta? Kalau rentang waktunya adalah satu abad, kita masih menemukan banyak hal seperti Madilog, Indonesia Menggugat, Taman Siswa, Syarekat Islam, Tetralogi Pulau Buru, Pancasila, gaya kepemimpinan Sultan HB IX, dan sebagainya. Kalau saya perpendek rentang waktunya menjadi 20 tahun terakhir, yang muncul otomatis di benak saya hanyalah N-250 dan visi negara kepulauannya Habibie. Sementara di luar sana, bermunculan banyak kreasi tak lazim mulai dari facebook hingga mesin puluhan trilyun bernama Large Hadron Collider (LHC).

Kita tahu bahwa negara kita dirundung persoalan pelik, dan persoalan luar biasa tak bisa diatasi dengan cara biasa. Singkat kata, negara kita memerlukan banyak sekali kreasi yang tak lazim. Lantas, dari mana orang-orang yang mampu menciptakan kreasi yang tak lazim (kita sebut saja sang pendobrak) berasal?

Steve Jobs, memberi judul “Connecting The Dots” pada pidatonya di depan wisudawan Stanford. Steve Jobs bercerita tentang riwayat hidupnya sambil menekankan beberapa titik dalam perjalanan hidupnya yang mempengaruhi kiprahnya dalam perusahaan dan industri komputer. Contohnya adalah satu kelas yang mengajarkan tipografi yang pernah diambil Steve Jobs yang akhirnya mempengaruhi bentuk PC seperti yang kita kenal saat ini.

Mahasiswa Fisika tahu betul bahwa saat belajar relativitas khusus, hampir semua buku mengawalinya dengan konsep tentang sinkronisasi waktu, dilanjutkan dengan banyak ilustrasi yang mengambil latar gerbong kereta. Ternyata, hal ini berasal dari pengalaman hidup Einstein yang sering melewati stasiun dengan Jam besar yang harus selalu disetel ulang agar selalu presisi. Singkat cerita, kita tidak pernah tahu di penggal kisah hidup sebelah mana pada diri seseorang yang menjadi “titik ungkit” bagi kiprahnya di masa depan sebagai sang pendobrak.

Terkadang, ciri-ciri sang pendobrak bisa “diterawang” sejak dini. Saya teringat, meski lamat-lamat akan perkataan seorang fisikawan yang mengatakan bahwa seseorang yang belum memiliki “masterpiece” sebelum usia 30 tidak akan pernah memiliki masterpiece seumur hidupnya. Atau dengan kata lain, seseorang yang menjalani 30 tahun pertama hidupnya dengan lurus-lurus saja, selamanya akan menjadi orang-orang biasa saja. Benarkah?

Memang ada beberapa kisah yang menguatkan pernyataan fisikawan di atas. Jauh sebelum menjadi orang terkaya, ketika kuliah Bill Gates pernah menulis algoritma “pancake sorting” yang menjadi algoritma tercepat, membentuk perusahaan bersama Paul Allen saat 17 tahun serta membantu menulis program penjadwalan kelas dimana Bill Gates selalu menempatkan dirinya di kelas yang dipenuhi gadis-gadis menarik. Pencapaian-pencapaian kecil inilah yang turut membentuk karya besar Bill Gates : Microsoft.

Negara Indonesia membutuhkan banyak sekali sang pendobrak dari berbagai bidang, kendati demikian sampai detik ini saya belum bisa merumuskan dengan lugas seperti apakah garis perjalanan hidup yang mampu melahirkan sang pendobrak?

Karenanya, saya ingin mengakhiri tulisan singkat ini dengan satu nasihat untuk generasi muda : Bertindaklah! karena kita tidak pernah tahu bagian mana dari kisah hidup kita yang akan mengantarkan kita menjadi sang pendobrak. Bergumullah dengan paper sejak dini jika ingin menjadi ilmuwan pendobrak dikemudian hari, jangan takut berpetualang dari satu simposium ke simposium lain! Berdaganglah sejak awal jika ingin menjadi pebisnis hebat yang akan menggerakan perekonomian bangsa! Menyelamlah ke dalam pertarungan-pertarungan politik jika ingin menjadi politisi lihai dan handal (asal lakukan dengan tanpa mengesampingkan moralitas). Dan berbuatlah untuk lingkungan sekitar, dalam bentuk apapun jika kelak ingin menjadi Negarawan Pendobrak! Jangan tunggu hingga lulus, atau mendapat pekerjaan mapan karena bisa jadi tanpa sadar waktu yang menjadi “titik ungkit” bagi calon sang pendobrak telah terlewati sia-sia.

*Zulkaida Akbar adalah Alumnus Program S1 Fisika ITB Angkatan 2003. Saat ini ia tercatat sebagai mahasiswa program Doktoral bidang Fisika di Florida State University.

**Tulisan ini diterbitkan di VicaraVeritas.com pada 28-01-2014

Mengapa Orang Harus Mempunyai Cita-Cita**

Tulisan ini ditujukan kepada anak-anak sekolah dasar usia 10-12 tahun.

Oleh: Nisa Faridz*

Mengapa kita harus belajar? Mengapa kita harus rajin membaca? Mengapa kita harus disiplin dan tepat waktu? Mengapa perlu belajar bahasa asing (misalnya bahasa Inggris)?

Jawabannya: karena kita punya cita-cita.

Coba pikirkan apa cita-citamu. Kalau masih bingung apa cita-citamu, Kakak beri contoh cita-cita sahabat Kakak ya. Namanya Indri dan ketika SD ia bercita-cita menjadi dokter hewan. Ia suka sekali binatang. Suatu hari ia menonton TV yang menyiarkan bagaimana dokter hewan menyelamatkan seekor macan Sumatra di kebun binatang, dan Indri pun terinspirasi: “€œAku ingin menjadi dokter hewan seperti itu,” ujarnya.

Seperti Indri, seringkali cita-cita kita dipengaruhi oleh sekitar kita: apa yang kita saksikan di TV, orang-orang hebat di sekitar kita, atau tokoh yang kita baca di koran. Ada yang bercita-cita menjadi guru seperti ayahnya, ada juga yang ingin menjadi atlet yang mengangkat piala kemenangan dan mengibarkan merah putih, seperti yang kita lihat di TV.

Kalau masih bingung mau jadi apa ketika kamu besar nanti, coba juga kunjungi museum, baca buku atau komik tentang tokoh ilmuwan dan penjelajah dunia, pilih film atau siaran TV yang menceritakan perjuangan orang mencapai cita-cita; biasanya itu akan membantu menemukan cita-citamu. Guru di sekolah pun mungkin bisa membantu mencari inspirasi itu.

Tetapi tunggu dulu, apakah cita-cita perlu dipikirkan sekarang, sejak SD atau SMP?

Sejak kecil Indri rajin belajar dan membaca berbagai buku dan majalah, terutama tentang kehidupan binatang. Ia diajarkan ibunya bahwa untuk mencapai cita-citanya, syarat pertamanya adalah harus membaca yang banyak. Membaca itu harus dilatih. Jika tidak dibiasakan membaca berbagai buku sejak kecil, ketika dewasa kita akan kesulitan untuk membiasakan diri membaca. Dan kalau malas membaca, pasti Indri sulit untuk lulus kuliah dan bisa-bisa cita-citanya menjadi dokter hewan pun gagal diraih.

Menjadi dokter hewan pasti susah, pikir Indri. Aku tidak hanya harus pintar, tetapi harus berani. Bayangkan kalau aku takut macan, bagaimana bisa aku membantu macan yang sakit jika aku tidak berani dekat-dekat macan? Indri pun mencari cara bagaimana agar ia terlatih untuk menjadi pemberani.

Sejak ia bercita-cita menjadi dokter hewan, Indri juga terdorong untuk belajar bahasa Inggris. Apa hubungannya? Ia suka mencari informasi di Internet, cerita tentang dokter hewan dan binatang-binatang di Afrika, atau bahkan di Kutub Utara. Cerita yang didapatnya banyak ditulis dalam bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia. Maka Indri pun mulai belajar bahasa Inggris.

Nah, sampai sini terbayang kan bagaimana pentingnya cita-cita? Cita-cita Indri membuatnya menjadi lebih semangat belajar. Iapun tidak pernah bingung bagaimana memanfaatkan waktu liburannya. Ia pergi ke kebun binatang, menawarkan diri untuk bekerja sukarela membantu petugas di sana merawat binatang, belajar bahasa Inggris, dan iapun sering pergi ke perpustakaan dan museum. Cita-cita sangat membantu kita mengisi hari-hari dengan kegiatan yang berguna.

Lalu, bagaimana kalau cita-cita kita berubah?

Tidak apa-apa. Indri sekarang sudah berusia empat puluh tahun, mungkin seusia orangtuamu. Profesinya bukan dokter hewan. Ia adalah seorang arsitek. Apakah ia gagal mencapai cita-citanya? Tidak. Semangatnya untuk mencapai cita-cita tidak pernah padam walaupun ia tidak jadi kuliah di fakultas kedokteran hewan. Karena sejak kecil selalu antusias belajar, Indri menjadi arsitek yang sukses. Saat ini Indri merancang kebun binatang, seperti yang diimpikannya ketika kecil.

Jadi, jangan takut dan jangan ragu untuk mempunyai cita-cita. Sebaliknya, kita harus punya cita-cita. Dengan cita-cita, kita jadi lebih mengerti mengapa kita harus rajin membaca buku dan berita, mengapa kita harus disiplin, bahkan harus menjaga kesehatan. Cita-cita akan membantu kita lebih semangat belajar, lebih berani, dan tidak mudah menyerah.

Suatu hari ayah saya mengatakan: “œSimpan cita-citamu dalam hati, jangan pernah dilupakan. Mungkin ia tidak akan tercapai dengan cepat dan mudah, tetapi kamu harus yakin suatu saat kamu akan berhasil.”

Kakak yakin, suatu saat kamu pasti akan berhasil mencapai cita-citamu!

*Nisa Faridz adalah mahasiswa doktoral dalam bidang administrasi dan kebijakan pendidikan di State University of New York, Albany, Amerika Serikat. Awalnya ia adalah seorang guru SD, lalu beralih menjadi pengajar untuk calon guru dan fasilitator untuk pengembangan sekolah dan profesi keguruan.

**Tulisan ini dimuat di anakbertanya.com, 17-01-2014